INILAH TEROBOSAN SELAMA 8 TAHUN PENGENDALIAN HIV/AIDS DI INDONESIA

Selama 8 tahun terakhir, perkembangan terus dilakukan dalam upaya pengendalian HIV/AIDS di Indonesia, mulai dari inovasi pencegahan penularan dari jarum suntik yang disebut Harm Reduction pada tahun 2006; pencegahan Penularan Melalui Transmisi Seksual (PMTS) mulai tahun 2010; penguatan Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (PPIA) pda tahun 2011; pengembangan Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) di tingkat Puskesmas pada tahun 2012; hingga terobosan paling baru yang disebut Strategic use of ARV (SUFA) dimulai pada pertengahan tahun 2013.

Demikian pernyataan Menteri Kesehatan RI, dr. Nafsiah Mboi, Sp.A, MPH, pada Temu Media berjudul Apakah Indonesia sudah mencapai titik balik? di Kantor Kemenkes RI, Jakarta (5/8).

Tahun 2006, epidemi HIV/AIDS di Indonesia paling banyak terdapat di kalangan pengguna narkoba suntik. Maka, penanganan utama saat itu adalah bagaimana mengurangi dampak buruk pada pengguna narkoba suntik (Penasun). Untuk itu, mulai awal tahun 2007 dilaksanakan pengurangan dampak buruk penularan melalui jarum suntik atau harm reduction. Program dilakukan melalui pemberian alat suntik steril, sebagai cara untuk memutus rantai penularan di antara Penasun. Pada saat sama, diselaraskan dengan pemberian layanan Methadone agar secara perlahan, para Penasun tersebut terbebas dari jeratan obat-obatan terlarang.

Ini merupakan suatu terobosan yang luar biasa. Karena inovasi tersebut mengubah cara pandang masyarakat yang semula kriminalisasi penasun menjadi upaya pencegahan penularan, ujar Menkes.

Senada dengan hal tersbeut, Menkes RI mendapatkan apresiasi besar di tingkat global pada kegiatan International Conference on AIDS 2014 di Australia, Senin (21/7). Peserta pertemuan mengaku terharu saat Menkes RI menyatakan sebuah kalimat, Do we want to kill them or save them? Because the easiest thing is to kill them.

Selanjutnya, tahun 2010 prevalensi penasun sudah mulai menurun secara bermakna, namun mulai muncul kasus HIV pada ibu rumah tangga sehingga mulai diintensifkan upaya pencegahan Penularan Melalui Transmisi Seksual (PMTS). Upaya tersebut diiintegrasikan dalam Strategi dan Rencana Aksi Nasional 2010-2014 (integrasi dalam RPJMN) dengan fokus pada populasi kunci di 141 Kab/Kota prioritas.

Sementara itu, tahun 2011, penularan kepada ibu rumah tangga dan mulai terjadi peningkatan  penularan dari Ibu positif HIV kepada bayi-bayi yang dilahirkan. Oleh karena itu, Kemenkes melakukan akselerasi peningkatan cakupan dan layanan Pencegahan Penularan dari Ibu ke Anak (PPIA), dengan tujuan utama untuk memutus rantai penularan dari orang tua ke bayinya. Hingga akhir tahun 2013, telah terdapat layanan PPIA di 91 RS dan di 23 Puskesmas.

Tahun 2012, mulai ditegaskan agar penanggulangan HIV/AIDS tidak boleh dipisahkan dari prioritas nasional pencapaian Millenium Development Goals ke-6 (MDGs-6). Sejak itulah, mulai dikembangkan Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) di tingkat Puskesmas. Dimana pelayanan HIV/AIDS mulai dari upaya pencegahan, tes HIV sedini mungkin, sampai kepada pengobatan dapat dilaksanakan di tingkat Puskesmas.

Akhirnya, terobosan paling anyar diperkenalkan pada pertengahan 2013, dinamakan Strategic use of ARV (SUFA). Merupakan kebijakan baru, yaitu setiap orang yang rentan atau berisiko, ditawarkan untuk melakukan tes. Dan bila hasilnya positif, akan langsung ditawari pemberian obat Antiretroviral (ARV).

Seperti kita ketahui, semakin dini penderita HIV diberikan retroviral, maka jumlah virus dalam darahnya menurun dan risiko penularan kepada orang lain juga berkurang, sehingga mutu hidupnya pun menjadi lebih baik, jelas Menkes.

Pada tahun 2012 dilakukan estimasi jumlah ODHA di Indonesia dan diperoleh hasil 591.823 orang dengan penyebaran di seluruh wilayah dan dapat dikatakan tidak ada satu provinsi pun yang terbebas dari HIV. Data yang dilaporkan Dinas Kesehatan Provinsi sampai dengan Juni 2014, jumlah kumulatif pengidap HIV sebanyak 143.078 orang dan penderita AIDS sebanyak 54.018 orang.

Terdapat dua epidemi HIV/AIDS di Indonesia, yaitu: 1) Epidemi terkonsentrasi pada kelompok tertentu yang disebut kelompok berisiko yakni pekerja seks dan pelanggannya, pengguna jarum suntik atau penasun, lelaki seks dengan lelaki (LSL), gay dan waria; serta 2) Generalized Epidemic atau epidemi yang sudah  tingkat epidemi HIV di sebagian besar provinsi di Indonesia pada tingkatan epidemi terkonsentrasi kecuali Tanah Papua (Papua dan Papua Barat) yang mempunyai status epidemi meluas rendah atau low generalized epidemic. Prevalensi HIV di Indonesia 0.4% sementara untuk Tanah Papua sebesar 2.3%.

Sumber: http://www.depkes.go.id/article/view/201408140002/inilah-terobosan-selama-8-tahun-pengendalian-hiv-aids-di-indonesia.html

Komentar

Postingan Populer